Minggu, 21 Oktober 2007

PLDPS info Tema dan Karya

Pameran Lukisan dan
Dialog Perupa Se Sumatera X
Tahun 2007

Taman Budaya Jambi,
29 Oktober - 3 Nopember 2007


TEMA :
“SUMATRA CONTEMPORARY ART”

PESERTA PAMERAN
Peserta Pameran adalah seniman perorangan atau kelompok yang telah ditunjuk mewakili daerahnya berdasarkan undangan panitia dan telah lulus seleksi
Peserta Pameran secara langsung menjadi peserta Dialog Perupa se-Sumatera
Panitia penyelenggara hanya menanggung akomodasi dan konsumsi sebanyak 3 orang dari setiap daerah, kelebihan peserta tidak menjadi tanggung jawab panitia
Transportasi peserta dan karya dari setiap daerah asal, pulang pergi menjadi tanggung jawab peserta.

KARYA DAN SELEKSI
- Karya yang dipamerkan adalah Seni Lukis (dua dimensi) yang dibuat dalam
kurun waktu tahun 2006 s/d 2007, ukuran maksimal 150 x 150 cm
- Karya diusulkan melalui mengirimkan foto karya ukuran post card 2 lembar untuk setiap
karya
- Jumlah karya dari setiap daerah dintentukan oleh hasil seleksi panitia di Jambi dan akan
diberitahukan melalui surat atau media lainnya.
- Setiap calon peserta bisa mengusulkan karya untuk dipamerkan maksimal 3 karya
- Setiap karya dilengkapi dengan data (judul karya, tahun pengerjaan, media, ukuran)
- Calon peserta harus melengkapi biodata diri, (lampiran KTP/SIM) riwayat
berkesenian/berpameran
- Pengepakan karya saat pengiriman dan pemulangan menjadi tanggung jawab peserta
- Proposal usulan karya dikirim ke :
Panitia Pameran Lukisan dan Dialog Perupa Se-Sumatera X ( PLDPS )
Taman Budaya Jambi
Jl. Arbai I Nomor 9-10 Sungai Kambang Telanaipura Jambi. Tlp.0741-64828
Paling lambat diterima panitia tanggal 10 Oktober 2007

WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN
Pameran Lukisan dan Dialog Perupa se-Sumatera akan dilaksanakan pada tanggal 29 Oktober s.d 3 Nopember 2007 bertempat di Taman Budaya Provinsi Jambi

DISPLAY KARYA
1. Penataan karya menjadi hak dan tanggung jawab kurator dan panitia
penyelenggara
2. Karya – karya dengan pemasangan yang khas, jika dianggap perlu akan
dipasang dengan bantuan senimannya.

PUBLIKASI DAN PROMOSI
1. Panitia penyelenggara berhak menggunakan gambar (image) karya peserta
untuk keperluan publikasi dan promosi Pameran
2. Publikasi dan promosi Pameran dilakukan melalui pencetakan poster,catalog
dan undangan Pameran serta penyebaran pers release ke media massa cetak dan
elektronik

DIALOG PERUPA
1. Peserta Pameran yang bisa hadir di Jambi diharapkan langsung menjadi
peserta Dialog Perupa se-Sumatera tahun 2007
2. Selain peserta Pameran, Dialog Perupa akan dihadiri oleh undangan terkait
lainnya

PENANGGALAN WAKTU PENTING
1. Pengiriman foto karya diterima panitia paling lambat 10 Oktober 2007
2. Karya terpilih, di informasikan kepada peserta 15 Oktober 2007
3. Pengiriman karya paling lambat diterima panitia 24 Oktober 2007
4. Pemasangan karya 24 – 27 Oktober 2007
5. Cek in peserta 28 Oktober 2007
6. Pembukaan Pameran 29 Oktober 2007
7. Penutupan Pameran 3 Nopember 2007
8. Pembongkaran Pameran 3-4 Nopember 2007
9. Cek out peserta dan pengembalian karya 4 Nopember 2007

Sabtu, 20 Oktober 2007

Ragam Kekinian Seni Lukis Sumatera
BANGKIT DAN SUARAKAN!!!
Oleh: Suwarno Wisetrotomo

Ikhwal Identivikasi
Dalam rangkaian denyut kegiatan seni rupa di Indonesia, saya kira hanya di daratan pulau Sumatera yang memiliki kegiatan dengan label “se Sumatera” seperti kegiatan kali ini, “Pameran Lukisan dan Dialog Perupa Se-Sumatera (PLDPS) X”. Sebuah kegiatan yang bertahan dalam rentang waktu yang panjang (kali ini yang kesepuluh). Kita semua tahu, menjaga kegiatan semacam ini agar tetap berkesinambungan, sungguh tak mudah. Kita bisa membayangkan sejumlah kerumitan penyelenggaraan; koordinasi, komunikasi, termasuk biaya. Dalam kaitan itu, kita pantas memberikan apresiasi yang tinggi pada “para penjaga perhelatan PLDPS” atas komitmen dan integritasnya. Bahkan di Jawa, tidak ada perhelatan yang secara spesifik disebut sebagai “pameran seni rupa se Jawa” misalnya (tentu saja segera bisa dijelaskan, bahwa hal itu belum tentu penting dan diperlukan untuk konteks Jawa, karena di Jawa dinamika dan ruang kompetisi begitu tinggi; baik yang dilakukan individu, kelompok, institusi seperti biennale, atau pameran-pameran berkala lainnya. Skala penyelenggaraannya juga beragam; dari yang lokal hingga internasional, semua dapat diakses dengan leluasa).
Kembali pada PLDPS, dalam pandangan saya, sebaiknya sebutan “se-Sumatera” jangan terjebak pada rutinitas yang tidak menawarkan (dan membawa) perubahan apa-apa. Akan tetapi harus dapat dioptimalkan dan diberdayakan, antara lain untuk mengidentivikasi diri, sembari melakukan semacam analisis SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, Threats). Dengan pendekatan SWOT, akan terlihat keunggulan atau potensi (strenght), kelemahan (weakness), kesempatan (opportunity), dan tantangan, ancaman, atau hambatan (threats). Pendekatan semacam itu akan membantu proses pemberdayaan menjadi lebih tertata. Hal semacam ini penting dilakukan, karena harus berhadapan dengan logika, bahwa Jawa – khususnya Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, atau Bali – sebagai pusat pertumbuhan pemikiran dan praktik seni rupa (bahkan juga pasar). Padahal fakta menunjukkan bahwa di setiap wilayah – entah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, atau Papua – sesungguhnya menyimpan potensi, sekaligus kelemahan, juga memiliki kesempatan dan segala tantangannya.
Ikhwal potensi misalnya: bahwa lokalitas (budaya, tradisi, hingga detail-detailnya seperti adat, nilai-nilai kehidupan, motif, dll), adalah merupakan tema-tema – atau sebutlah sumber inspirasi – yang tak habis-habisnya diserap dan dieksplorasi, terlebih lagi ketika dihadapkan dengan masalah perubahan atau pergeseran budaya. Ikhwal kelemahan misalnya, dari aspek produk karya sering tampak pada miskinnya eksplorasi gagasan, material, dan teknik. Kekayaan lokal sering tak mampu dilihat dan diolah secara kritis. Kemudian dari aspek organisasi atau pilar-pilar penyangga, masih terhadap dengan profesionalisme dan miskinnya patronase (masih juga terdengar ‘ketidakkompakan, atau ketidakakuran’ antarinstitusi, hanya semata-mata karena prasangka dan komunikasi yang kurang bagus). Ikhwal kesempatan, sesungguhnya terbuka kemungkinan memberdayakan diri menjadi “pusat perhatian” – sejauh mampu mendorong kreativitas dan menumbuhkan patronase. Sedangkan ikhwal tantangan, adalah bagaimana mampu mengatasi titik-titik lemah itu menjadi G-Spot (menjadi titik rangsang yang menggairahkan).

Ikhwal Politik Identitas
Jika “se-Sumatera” berhasil menguatkan keberadaannya, maka sesungguhnya akan memiliki peran dalam membangun politik identitas. Dalam berbagai forum diskusi internasional, saya sering mendapatkan pertanyaan, “adakah atau seperti apakah seni rupa Indonesia?”, dengan persepsi dan pemahaman bahwa demikian ‘warna-warni’nya (baca: beragam, hiterogin, multikultur) Indonesia, “bagaimana mungkin Saudara menyebut seni rupa Indonesia?” tegas pertanyaan itu. Sesungguhnya pertanyaan tersebut lumayan usang dan tidak cukup menarik untuk dijawab. Akan tetapi, itulah fakta percakapan di lapangan (bahkan di fora internasional).
Dilihat dari perspektif yang lain, maka di dalam pertanyaan tersebut terkandung jawaban, yakni “keberagaman” itulah seni rupa Indonesia. Seni rupa yang membentang dari ujung Sumatera hingga ujung Papua, yang dengan lentur menyerap segala perubahan, pengaruh, ciri, dan sebagainya, dari berbagai gejala perkembangan seni rupa di dunia. Itulah saya kira pintu masuk kita untuk menguatkan “Politik identitas” melalui corak dan kecenderungan (visual) seni rupa Indonesia.

Membongkar Pesona Sumatera
Yang lokal, kemudian yang unik, yang spesifik, adalah sebuah pesona dan daya tarik. Seni rupa “se-Sumatera” – ataukah ia menjadi “seni rupa Sumatera”? – apakah memiliki itu ? Bagaimana membaca dan memahami karya-karya Zirwen Hasri, Amrianis, Herisman Tojes, Nasrul, Irwandi, Evelyna Dianita, atau karya-karya Komunitas Belanak, atau Pentagona (Padang), karya-karya Amran Eko Prawoto (Medan), Besta (Riau), Oon (Bengkulu), Dedi Junaidi (Palembang), Subardjo, Edi Fahyuni (Lampung), Joko Irianto, Ari Siswa Managisi (Jambi), dll. Atau secara khusus bagaimana membaca dan memaknai karya-karya yang terseleksi dan tampil dalam PLDPS X – 2007 kali ini ?
Apakah “se-Sumatera” sudah mewakili ikhwal pesona tentang sebuah kekuatan, yang dengan gagah dan meyakinkan sebagai ‘seni rupa Indonesia’ ? Ouww… rumit amat ? Begini saja, peristiwa berkala seperti PLDPS memang dituntut menghadirkan ‘yang terkuat dan yang penting’ dalam suatu kurun atau pembacaan tertentu. Maka “Ragam Kekinian Seni Lukis Sumatera” (saya kira harus diperluas menjadi Seni Rupa Sumatera!) dalam pandangan saya, dikaitkan dan diposisikan dalam rangka dan kerangka “pesona Sumatera” dan sebagai bagian penting dalam upaya membangun politik identitas. Di dataran itulah tawar menawar posisi (bargaining position) dapat dimulai, agar selanjutnya terjadi mobilitas sentrifugal, mobilitas melenting dan meluas daya jelajahnya.

Bangkit dan Suarakan!!!
Saya akan meminjam jargon Tujuan Pembangunan Millenium atau MDGs (Millenium Development Goals) dalam hal mengatasi pemiskinan, yakni “bangkit dan suarakan”, untuk memprovokasi “seni rupa Sumatera”. Jargon tersebut dapat digunakan sebagai ‘daya dorong’ untuk perupa dan seni rupa Sumatera dalam kaitan memasuki ruang pergaulan yang meluas di segala level.
Dalam kaitan itu, maka perkara atau tema yang serius adalah mobilisasi – ke samping, ke atas, ke bawah, bahkan ke segala penjuru – agar ‘potensi tersembunyi’ serta segala tantangan dan kelemahan (eksplorasi teknis, gagasan, pesan, dsb) dapat diolah dan akhirnya berada dalam ruang pencarian dan kompetisi kreatif yang produktif.
“Bangkit dan suarakan” memiliki konsekuensi dan resiko yang tidak sederhana. Intinya adalah penguatan peran di seluruh lini, dengan capaian (goals) ruang kesetaraan. PLDPS seharusnya menjadi pemicu yang tepat dan efektif untuk menciptakan “pusat perhatian”. Jika “bangkit dan suarakan” ini menjadi jargon dan kesadaran bersama, jika capaian (goals) menjadi kesadaran bersama, saya percaya bahwa peristiwa tahunan “se-Sumatera” ini akan menjadi “pusat perhatian” yang sesungguhnya.
Jika... ya... jika...!!!

***Suwarno Wisetrotomo
Kritikus Seni Rupa
Dosen Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta

Catatan PLDPS

CATATAN PAMERAN LUKISAN DAN
DIALOG PERUPA SE-SUMATERA

Fauzi Z *
Bagai arus Sungai Batanghari, keberadaan Perupa Sumatera terus mengalir. Walau sesekali dihiasi riak dan gelombang tak menyurutkan semangat untuk terus membangun silahturahmi antar perupa. Untuk satu tujuan “tumbuh dan berkembang dalam kebersamaan”.

Pameran Lukisan dan Dialog Perupa Se-Sumatera (PLDPS) adalah salah satu wujud dari kebersamaan yang sudah terjalin dalam kurun waktu yang cukup lama. Peristiwa penting ini dirasakan perlu untuk terus dirawat keberlanjutannya, dijaga dan ditingkatkan kualitas pelaksanaannya. Dalam kesempatan ini, saya menghaturkan apresiasi dan penghargaan yang tinggi kepada semua pihak yang telah turut mendukung terlaksananya pameran ini sehingga dapat memberikan arti tersendiri bagi perjalanan Seni Rupa Sumatera. Sehingga kelak, Perupa Sumatera tak hanya mengalir dan membuahkan riak-riak saja, namun dapat menjadi “gelombang” besar yang dapat terus memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan Seni Rupa di Indonesia.

Upaya hidup Seni Lukis Sumatera selama hampir 15 tahun terakhir menarik untuk dikaji. Pasang surut sudah menjadi fenomena yang biasa dialami para perupa. Tumbuh dan berkembang atau layu dan mati adalah peristiwa yang juga sudah sangat biasa terjadi. Namun sebagai ungkapan rasa dan sebagai wujud kebutuhan, Seni Lukis tak ingin mati. Tak sedikit pameran yang digagas berbagai komunitas seni dan lembaga pemerintah digelar di berbagai provinsi di Sumatera. Namun berbagai persitiwa itu dirasa belum menempati tempat sebagaimana mestinya.

Pun halnya dengan PLDPS yang hingga saat ini telah menapak pelaksanaan yang ke-10 kali. PLDPS diharapkan dapat menjadi kekuatan pergerakan Seni Lukis Sumatera. Walaupun pada kenyataannya dibalik berbagai upaya penyelenggaraannya juga menyeruak optimisme akan revolusi sosial, budaya dan teknologi informasi yang berdampak pada proses penciptaan karya. Disisi lain, konsep yang diusung berlatar kondisi yang berbeda menjadi wadah untuk menampung beragam tradisi seni lukis di Sumatera yang kaya akan nilai-nilai budaya.

Namun begitu, semangat ini harus diimbangi dengan pamahaman konsep yang matang, jika tak ingin terjebak pada ketergantungan akan pencarian perbedaan—identitas--. Keragaman ritual tradisi dan perkembangan sosial, pendidikan dan faktor penunjang proses kekaryaan yang mengitari sosok Perupa Sumatera turut pula membentuk sikap, watak, kehendak, wawasan dan manifestasi para pelukis di Sumatera. Atmosfir ini memungkinkan untuk lahirnya pandangan yang cenderung bias terhadap eksistensi PLDPS. Selain kerap dianggap sebagai peta kekekuatan dengan perkembangan yang sangat luas, perdebatan sekitar kompleksitas dan kerumitan karya, latar antropologi dan filosofi yang beragam. Berkutat dengan permasalahan “mengambang” itu merupakan suatu perbincangan yang menghabiskan waktu dan energi.

Akan lebih bermakna jika kemudian turut pula diperbincangkan beberapa wacana yang menurut hemat saya justru merupakan suatu kebutuhan dalam realitas perkembangan Seni Lukis Sumatera. Seperti, pokok-pokok permasalahan yang jelas, harapan akan identifikasi latar belakang potensi yang gamblang dan batasan waktu yang lebih terukur. Tidak berlebihan kiranya, pada pelaksanaan PLDPS X ini, panitia penyelenggara memilih bingkai yang cenderung “lebih tajam” dalam upaya mengambil tempat –yang semestinya—sudah didiami Perupa Sumatera beberapa tahun kebelakang. Dengan segala kesederhanaannya menjadikan PLDPS sebagai area yang kompetitif dan media kebebasan berekspresi untuk menghasilkan karya lukis terbaik di Sumatera tanpa dibebani oleh persoalan yang seharusnya tidak perlu.

PLDPS di satu sisi dapat dipandang sebagai bentuk protes dan pemberontakan terhadap sebuah pengakuan tentang keberadaan Perupa di Sumatera. Di lain sisi, PLDPS juga merupakan parameter perkembangan Seni Lukis Sumatera. Untuk itu, pencapaian peningkatan kualitas kekaryaan dan hasil penyelenggaraan menjadi sangat penting untuk dicermati. Kalau kita sejenak menoleh perjalanan PLDPS dari tahun 1993 pada penyelenggaraan pertama hingga tahun 2007, menapak ke-10 kali keberadaannya terdapat beberapa catatan kecil yang kiranya dapat bermanfaat menjadi bahan untuk semakin mawas diri bagi kita Perupa Sumatera;

· PLDPS I Oktober 1993
Dilaksanakan di Jambi oleh Himpunan Seni Rupawan Indonesia Jambi (HSRI Jambi) dengan Taman Budaya Jambi.

· PLDPS II Oktober 1994
Dilaksanakan Taman Budaya Jambi dan Himpunan Seni Rupawan Indonesia Jambi (HSRI Jambi)

· PLDPS III Desember 1995
Terlaksana di Museum Negeri Riau, Pekan Baru bersama HPR (Himpunan Perupa Riau) dan Dewan Kesenian Riau. Salah satu hasil dari penyelenggaraanini melahirkan kesepakatan Perupa Sumatera untuk menyelenggarakan pameran lukisan bertempat diluar Sumatera. Tempat penyelenggaraan PLDPS IV direkomendasikan di luar Pulau Sumatera.

· PLDPS IV Maret 1997
Kegiatan Perupa Sumatera bekerja sama dengan Direktoral Jenderal Kebudayaan. Pameran terlaksana di Galeri Pasar Seni Jaya Ancol, Jakarta.

· PLDPS V Maret 1998
Bersamaan waktu pelaksanaannya dengan PPSS I. Bertempat di Taman Budaya Bengkulu. Pameran dilaksanakan oleh PLDPS dan Pergelaran dilaksanakan PPSS. Terciptalah kegiatan Taman Budaya se-Sumatera PPSS I di Bengkulu, PLDPS adalah aktivitas seniman Perupa Sumatera.

· PLDPS VI Februari 1999
Taman Budaya Lampung masih PLDPS sebagai panutan. Kegiatan masih bergabung dengan PPSS II. Aktivitas kebersamaan Pameran dan Pegelaran.

· PLDPS VII Oktober 1999
Dilaksanakan Taman Budaya Jambi bekerja sama dengan Kajanglako Art Centre. Pameran Lukisan dan Dialog Perupa VII se-Sumatera serta peserta seni tanah pilih Jambi. Dalam penyelenggaraan ini terhadap karya-karya terpilih Jambi. Upaya memberikan penghargaan pada Perupa, penyelenggara menghadirkan Kurator Nasional dan dosen Pasca Sarjana ISI Yogyakarta Suwarno Wisetrotomo. Dalam hajatan ini, kita mengusung karya Perupa Sumatera ke Jakarta di Galeri Nasional dengan tajuk “ Sumatera kekuatan yang tersembunyi “

· PLDPS VIII Jambi 2000
Diselenggarakan di ujung peralihan abad dan di ujung peralihan sistem pemerintahan yang kemudian berdampak pada proses berkesenian. Kaum pekerja seni seolah bertukar “induk”, dari Depdikbud ke Depbudpar. Mulusnya peralihan struktur pemerintahan di Jakarta ternyata tidak otomatis terjadi di daerah-daerah. Garis komando pemerintahan di daerah yang belum jelas membutuhkan waktu dan cara beradaptasi yang ternyata juga memerlukan daya kreatifitas yang tinggi pula. Beberapa program-program kesenian di daerah sempat tersendat-sendat, ada yang terkatung-katung, bahkan ada yang terpaksa gagal dilaksanakan. Dapat dimaklumi, karena umumnya kondisi di daerah masih menggantungkan dukungan pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Namun kondisi ini tak mengurangi semangat para Perupa Jambi untuk kembali tampil ke depan dalam upaya mempertahankan kesinambungan PLDPS, hajatan yang telah menjadi komitmen bersama para Perupa Sumatera. Justru pada PLDPS VIII terjadi peningkatan fenomenal. Dalam kesempatan itu, keikutsertaan karya-karya dalam pameran tersebut melalui system kurasi yang ketat oleh curator independen yang ditunjuk oleh panitia penyelenggara. Adalah Maman Noor, M.Si, Kurator Nasional yang juga dosen Pasca Sarjana STSI Bandung yang dipercaya untuk melakukan seleksi.


· Tahun 2001 – 2003 ; Titik Antiklimak

Setelah berbagai kemajuan di peroleh dalam penyelenggaraan event tahunan PLDPS tersebut, akhirnya dalam rentang waktu yang cukup panjang 2001 s/d 2003 PLDPS menemui titik anti klimak. Berbagai persoalan global seperti krisis ekonomi yang berkepanjangan berdampak serius bagi Seni Lukis Sumatera. Beberapa daerah (Provinsi) yang ditunjuk untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan dalam kurun 2001 – 2003 tidak dapat terlaksana karena persoalan dukungan dana dan fasilitas yang tidak dapat diperoleh.

Meski begitu, komunikasi antar individu perupa terus berlangsung di berbagai even yang mempertemukan mereka seperti di Jakarta, Pekanbaru, Medan, Jambi dan berbagai kota lainnya. Dari pembicaraan-pembicaraan itulah akhirnya mengental dan menumbuhkan kembali semangat untuk dapat kembali menggelar Pameran PLDPS yang sudah cukup lama vakum tersebut. Akhirnya kesepemahaman kembali ditemukan dengan kebulatan tekad. Lampung kembali maju untuk menjadi tuan rumah perhelatan pasca kevakuman akibat krisis ekonomi tersebut.

· PLDPS IX Lampung 2004 (dari PLDPS ke PSRDPS)
Tata Nilai bergulir terus menerus bersama waktu yang tak henti berputar, berakselarasi. Fenomena perubahan dalam senirupa memaksa membongkar batas pandangan kita dalam sistem pengolahan.

Selama ini kegiatan senirupa di berbagai wilayah di Sumatera digagas, digerakkan dan dikelola oleh orang perorangan selingkungan senirupa sendiri. Hal ini tidak mampu menghambat tumbuh kembangnya regenerasi. Perubahan secara radikal perlu dilakukan agar kehidupan dunia senirupa Sumatera tidak akan kembali terpinggirkan dalam relasi perkembangan nasional.

Perubahan tidak hanya terjadi pada sistem pengelolaan semata. Dalam hal medan cipta karya pun terjadi medan karya tradisional dan konvensional. Sehingga memaksa kreator merubah konsep penyajian sebuah pameran. Menciptakan ruang kreativitas personal perlu lebih dikedepankan dan hal ini menjadi dasar ketika tema ‘Sumatransformation” yang diusung panitia PLDPS IX Lampung. Ini juga menjadi dasar ber-reinkarnasinya Pameran Lukisan dan Dialog Perupa se-Sumatera (PLDPS) menjadi Pameran seni Rupa dan Dialog Perupa se-Sumatera (PSRDPS). Lukisan yang dalam perhelatan sebelumnya menjadi media kreatif sentral, dalam PSRDPS --digelar bersamaan dengan Lampung Art Ekspo-- berkembang menjadi ajang pameran karya kreatif senirupa secara umum. Dengan menampilkan berbagai bentuk dan media kreatif senirupa lainnya.

Ditandai dengan keikutsertaan kreator muda Yupnical Saketi (seniman bertopeng) dari Jambi yang mengusung karya kreatifnya dalam media instalasi --di Sumatera masih terbilang baru-- dan Restu Wardana seniman ‘Patung’ dari Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dengan karya patung terbarunya berjudul ‘Terjerat’. Disamping itu dalam kesempatan ini juga diperkenalkan media kreatif termutahir yakni Performance Art (senirupa Pertunjukan) sebagai wahana eksebisi yang ditampilkan para seniman Bandung dan seniman Agus Joly dari Jakarta.

Maman Noor dalam motivasinya menyebutkan, “dalam waktu kedepan berbagai bentuk media kreatif lainnya sangat berkemungkinan akan muncul. Kalau sekarang Instalasi dan Performance Art masih dianggap baru, mungkin kedepan akan hadir lagi berbagai media kreatif lainnya. Mungkin akan lahir Hollogram Art, Cyber Art dan lain sebagainya. Jadi kenapa mesti diam dan tidak membuka diri untuk untuk berbuat dan mengembangkan kemampuan” sebutnya seperti berpesan.

Namun sebagai konsekwensi dari sebuah pertikaian estika dalam forum Pameran dengan standar kualitas serta konsep kuratorial ketat akan berdampak semakin sedikitnya jumlah karya dan seniman (Perupa) yang dapat berperan serta berpameran. Pasalnya seniman atau karya yang dapat ikut dalam Pameran tersebut harus melalui sistem kurasi yang sangat ketat. Dilakukan kurator Nasional Maman Noor dengan du Ko-kurator yang salah satunya Subardjo.

Perubahan-perubahan yang terjadi di PSRDPS bukan sekedar ajang silaturahmi budaya semata. Lebih dari itu ajang ini menjadi parameter kualitas pergulatan Perupa Sumatera dewasa ini.

Dari aspek sosiologi dan kulturalnya, inilah saat terbukanya ruang komunikasi dan lingkaran (pergaulan) yang meluas. Perupa Sumatera memperluas dan mengokohkan posisi --juga menengok riwayat-- dan menghormati para pelakunya merupakan langkah awal untuk mengidentifikasi diri (melacak indentitas) serta mengukuhkan eksistensi.

· PLDPS X Jambi, Tahun 2007

Dalam kesempatan ini penyelenggara berusaha menjadikan masa lalu sebagai pembelajaran yang takternilai dan patut dimaknai menuju masakini yang lebih baik, “SUMATERA CONTEMPORARY ART” adalah tema yang dipilih dengan penuh pertimbangan dalam artian secara filosofi dan Nilai-nilai yang terkandung pada sebuah karya lukis tentu tidak lepas begitu saja dengan latarbelakang dan pengalaman pelukisnya tetapi kecerdasan menjangkau kekinian pemikiran tentang teknologi, sosial, politik , ekonomi dan budaya yang berkembang pada masa kini hendaknya tercermin pada karya-karya terbaik yang dihasilkan oleh para pelukis Sumatera.

* Ketua Panitia PLDPS X Jambi 2007
* Ketua Himpunan Senirupawan Indonesia Jambi